Monday, November 11, 2013

Tes Tarik dan Tes Geser

Tes Tarik (pull-out test) dan Tes Geser (Shear test) dilakukan untuk mendapatkan data kapasitas angkur yang terpasang sehubungan dengan aplikasi yang sesuai standar pemasangan.
Setiap produk angkur yang baik selalu memiliki data teknis yang berasal dari approval yang dikeluarkan oleh lembaga internasional yang telah diakui dalam melakukan pengetesan untuk pengambilan data.

Pengetesan tersebut dilakukan telah sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu yang sesuai standar statistika yang dapat dijadikan sebagai data yang valid.
Beberapa parameter yang dipenuhi seperti :
- Jumlah sampel yang sudah memenuhi syarat
- Memenuhi kaidah distribusi normal dengan tingkat kepercayaan 95%

Pengetesan (pull-out dan shear test) tersebut dilakukan pada beton dengan standar sebagai berikut :
- Mutu beton fc' 20 Mpa (K250)
- Beton tidak memiliki tulangan (non-reinforcement)
- Posisi angkur jauh dari tepi beton
- Jarak angkur yang satu dengan yang lain tida ada pengaruh (tidak terjadi splitting)
- Kaki (tumpuan) alat tes tarik tidak mempengaruhi area cone beton

Data tersebut dirangkum menjadi 4 bagian, yaitu :
- Mean ultimate load (kapasitas tertinggi rata-rata)
- Characteristic load (kapasitas karakteristik), distribusi normal 95%
- Design load (kapasitas disain), telah memiliki safety-factor
- Recommended load (kapasitas yang direkomendasikan)

Dalam mendisain konfigurasi angkur yang digunakan adalah design-load.

Site test (pengetesan lapangan)
Dalam proses pelaksanaan di lapangan biasanya dibutuhkan persetujuan (approval) dari pihak Manajemen Konstruksi atau MK (Construction management). Adapun ketentuannya adalah melaksanakan pengetesan di lapangan, yang biasanya diambil sekitar 2 s/d 5 sampel untuk ukuran dan kedalaman angkur yang sama.
Biasanya diminta melakukan pengetesan hingga terjadi kegagalan (failure).
Sebenarnya pengetesan lapangan ini kurang perlu dilakukan karena telah memiliki data teknis. Pengetesan ini dilakukan semata-mata hanya untuk menambah keyakinan (confidence) dari pihak proyek. Juga sebagai syarat yang ditetapkan dalam spesifikasi teknis dari perencana/konsultan struktur.

Pengetesan lapangan juga tidak perlu dilakukan hingga failure, tetapi cukup sampai angka design-load. Karena didalam mendisain konfigurasi angkur batas kapasitas yang digunakan hanya sampai design-load.

Pengetesan lapangan yang bertujuan untuk pengambilan approval tersebut biasa disebut dengan Mock-up.

Selain mock-up biasanya dilakukan juga pengetesan lapangan untuk kondisi yang terpasang atau biasa disebut dengan proof-test (pengujian pembuktian). Biasanya tidak semua angkur yang terpasang dilakukan proof-test. Jumlah yang dites bervariasi antara 3 s/d 5% dan angkur yang dites dipilih secara acak (random). Hal ini dilakukan semata-mata untuk meyakinkan pihak pemilik (owner) atau MK bahwa yang terpasang sudah sesuai standar aplikasi yang benar. Jadi proof-test dilakukan bukan sebagai jaminan bahwa yang dipasang tersebuat sudah baik. Pengetesan ini sebaiknya dilakukan oleh pihak-pihak yaang melakukan pengujian lapangan yang sifatnya independen dan telah memiliki akreditasi sebagai lembaga yang melakukan pengujian.

 
Pull-out test
 
 
 Concrete-failure pada pull-out test
 

Shear test

Sunday, October 27, 2013

Approval

Apa yang dimaksud dengan approval?
Approval adalah suatu persetujuan bahwa material tersebut sudah dites oleh lembaga independent yang resmi dengan mengacu pada standar pengetesan yang ada.
Salah satu lembaga internasional yang ada di Eropa adalah European Technical Approval. Lembaga ini melakukan pengujian untuk hampir semua jenis material yang digunakan untuk konstruksi.
Lembaga lain seperti Warrington Fire Research merupakan lembaga yang khusus melakukan pengujian suatu material terhadap api/kebakaran. Yang diuji bukan hanya materialnya saja, tetapi material tersebut dipasang pada suatu sistem sesuai dengan fungsi material yang diuji tersebut.

Di Indonesia terdapat juga lembaga yang melakukan pengujian yaitu Puslitbang yang ada di Cileunyi, Bandung. Tapi sayang, lembaga ini belum memiliki peralatan penunjang untuk pengujian fastening system/post-installed anchor. Oleh karena itu Indonesia belum memiliki standar disain (SNI) sistem angkur.

Hal ini perlu ditanggapi lebih serius oleh pemerintah dan pihak-pihak yang membuat standar disain sesuai SNI, karena aplikasi fastening ini sudah sangat banyak diaplikasikan pada konstruksi terutama konstruksi gedung bertingkat (high-rise building). Seperti kita ketahui telah terjadi beberapa kegagalan aplikasi ini bahkan hingga merenggut korban jiwa. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap disain sistem angkur yang benar.

Sebagai contoh sederhana bahwa terdapat beberapa perbedaan antara fastening-system (post-in anchor) dengan sistem angkur tanam (cast-in anchor), antara lain :


  Cast-in anchorPost-in anchor
Jarak antar angkur tidak perlu diperhitungkan
Terdapat syarat jarak minimum antar angkur yang berbeda-beda untuk setiap ukuran dan tipe sistem angkur
Jarak ke tepi beton tidak perlu diperhitungkan
Memiliki syarat jarak minimum ke tepi beton
Mutu beton tidak diperhitungkan
Mutu beton eksisting mempengaruhi kapasitas sistem angkur
Tipe angkur adalah sama untuk kondisi pembebanan yang berbeda baik static-load maupun dinamic-load Tipe angkur berbeda sesuai dengan approval untuk tipe pembebanan yang berbeda
   

 


Sebagai contoh bahwa tipe angkur mekanikal memiliki perbedaan disain bentuk untuk sistem pembebanan yang berbeda seperti fatigue-load (beban fatig/lelah), shock-load (beban kejut) dan seismic-load (beban gempa).

 

Thursday, October 24, 2013

Disain Sistem Angkur

Indonesia belum memiliki standar disain tentang sistem angkur (fastening-system).
Sampai saat ini para specifier (perencana/pihak yang menentukan spesifikasi material) mendisain sistem angkur masih mengacu pada standar dari Eropa (Eurocode) dan dari Amerika (ACI).
Perencana struktur sebagai specifier masih meminta saran kepada supplier (penyedia material) karena perencana masih menganggap bahwa pihak supplier yang paling memahami fastening-system ini.

Disain sistem angkur yang biasanya digunakan di Indonesia masih mengacu pada standar disain Eurocode (EC), dengan metode kapasitas beton (Concrete Capacity Method), yang biasa disebut dengan CC-Method.
Teori ini mempertimbangkan bahwa kekuatan sistem angkur terdapat pada kapasitas betonnya, bukan pada kapasitas material angkurnya.

CC- Method ini memiliki beberapa parameter yang menjadi patokan dalam perhitungannya, yaitu :

1. Kapasitas Tarik (Tensile capacity) - βN 1
Akibat dari beban tarik yang terjadi pada angkur maka kegagalan yang ditinjau adalah :
a. Steel failure (material angkur)
b. Concrete-cone failure (kerucut beton)
c. Splitting failure (retak antar lubang angkur dan akibat ketebalan beton)

2. Kapasitas Geser (Shear capacity) -  βV 1
Akibat dari gaya geser pada angkur, maka kegagalan yang ditinjau adalah :
a. Steel failure
b. Concrete-edge failure (kegagalan pada area tepi beton)
c. Pry-out failure (beton tercungkil)

3. Combination load capacity
Syarat kombinasi pembebanan antara tarik dan geser :

a. βN  +  βV     1.2                b. βNα  +  βVα     1  ; ( α = 1.5 atau 2.0)

Combination load capacity ini sangat perlu disyaratkan dikarenakan sistem angkur (post-installed anchor) kedalamannya termasuk dangkal bila dibandingkan dengan sistem angkur tanam (cast-in anchor).
Seperti kita ketahui bahwa dalam disain angkur tanam, tidak terdapat parameter yang mensyaratkan combination-load tersebut.


Untuk mechanical-anchor, standar disain ini telah dituangkan dalam European Technical approval Guideline (ETAG) 001 "Metal Anchor For Use in Concrete", Annex C

Untuk chemical anchor, standar disain ini dituangkan dalam ETAG 001, TR 029 "Design of Bonded Anchors"


Wednesday, October 23, 2013

Fastening-system (Post-installed anchor)

Fastening system adalah aplikasi menumpukan suatu material ke suatu media dengan menggunakan angkur (anchoring system).
Material yang ditumpukan biasanya berupa baja profil (steel), braket (steel-bracket), kayu (wood), dll.
Media yang dimaksud umumnya adalah beton (concrete), dinding bata (solid-bricks), bata ringan (aerated-concrete) dan batu alam (stone)

 
Fastening-system ini sudah sangat banyak diaplikasikan di bangunan gedung tinggi (highrise-building), infrastruktur seperti jembatan (bridge), terowongan (tunnel), jembatan penghubung antar gedung (sky-bridge), dll.
 
Di highrise building sendiri terdapat banyak aplikasi yang menggunakan fastening-system, spt:
- Balok baja (steel-beam)
- Kanopi (canopy)
- Tumpuan braket facade precast
- Tumpuan braket facade curtainwall
- Angkur untuk gantungan pipa, cable-tray, ducting dll
- Angkur untuk dudukan AC
- dll
 

 

Fastening-system terdiri dari 2 sistem, yaitu :
1. Angkur mekanikal (mechanical anchor)
2. Angkur Kemikal (chemical anchor)



Mechanical-anchor (tanpa menggunakan adhesive/resin/chemical)


Sistem mekanikal angkur biasa juga disebut dengan angkur dinabol.
Cara kerja sistem angkur ini kekuatan angkurnya pada beton akan ditahan oleh gesekan/friksi yg terjadi antara angkur dengan beton.
Mechanical-anchor terdiri dari 2 tipe :
 

a. Friksi (friction)

 

 
Tipe friction ini ketahanannya timbul dengan adanya gesekan/friksi yang terjadi setelah mur (nut) dikencangkan. Kekencangan mur tersebut disesuaikan dengan spesifikasi masing-masing material angkur.
 

b. Penguncian (Keying/undercut)

 
Tipe undercut ini hampir mirip dengan angkur tanam (cast-in anchor).
Dimana pada bagian ujungnya mengembang (expanding).
 
Chemical anchor
 
Kemikal angkur adalah sistem angkur yang menggunakan zat kimia (adhesive/resin) sebagai bahan untuk melekatkan angkur ke beton.
Semua bahan kimia ini mengandung epoksi (epoxy) sebagai bahan utama. Bahan kimia memiliki nama yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk ikatan kimia yang membentuknya. Kandungan epoksinya juga berbeda-beda untuk masing-masing tipe.
Beberapa jenis adhesive yang banyak digunakan yaitu : epoxy mortar, polyester, urethane-methacrylate, epoxy acrylate, vinylester, methacrylic-acid, dll.
Kandungan kadar epoxy yang berbeda akan berpengaruh pada daya lekat antara angkur dengan beton.
Perbedaan viskositas dari masing-masing tipe yaitu:
  • Epoxy mortar sekitar 900 cps
  • Polyester sebesar 500 cps.
  • Vinylester sebesar 200 cps. Vinylester adalah hasil reaksi campuran antara epoksi dengan asam karboksilat jenuh (ethylenically unsaturated carboxylic acids).
Kekuatan lekatan dari adhesive anchor ini disebut dengan kapasitas lekatan (bond strength). Epoxy mortar memiliki kandungan epoksi paling tinggi yaitu sebesar 15 N/mm2 (ASTM C 882-91). Epoxy mortar juga memiliki kapasitas tekan (compressive strength) yang sangat tinggi yaitu 120 N/mm2 (ASTM D 695-96). Kapasitas tari (yield strength) dari material ini sebesar 51 N/mm2, setara dengan besi tulangan yang digunakan pada konstruksi beton bertulang.

Chemical anchor berbahan epoxy mortar memiliki kelebihan untuk aplikasi yang terendam air. Sehingga banyak digunakan pada struktur bagian bawah (basement). Biasanya pada tahap ini di area basement masih mengeluarkan air tanah terutama di bagian dinding penahan (retaining-wall).

Jenis material ini juga sangat baik diaplikasikan apabila lubangnya dibuat dengan mesin koring (coring-machine). Seperti kita ketahui bahwa lubang yang dibuat dengan mesin koring, dinding permukaan lubang berbeda dengan yang dikerjakan dengan mesin bor. Apabila dinding permukaan lubang dengan mesin bor memiliki permukaan yang kasar (rough), maka dinding permukaan lubang yang dikerjakan dengan mesin koring memiliki permukaan yang halus/licin (smooth). Jenis material adhesive selain epoxy mortar tidak direkomendasikan untuk aplikasi lubang yang menggunakan mesin koring.